Studi ini dilakukan untuk memperoleh data wilayah potensi budidaya air tawar dan budidaya tiram di pesisir. Aceh Data dapat digunakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pertimbangan untuk mengembangkan mata pencaharian penduduk wilayah pesisir melalui pengembangan komoditas relatif baru dan berprotein tinggi untuk konsumsi lokal.
1. Survey Pendahuluan
Penentuan wilayah survey awal dibantu dengan Peta Administrasi Propinsi Aceh, Google Earth/Map, serta citra satelit dengan memperhatikan keberadaan sungai dan jarak tambak terhadap laut. Survey pendahuluan di semua area potensial yang telah disepakati menghasilkan sejumlah 117 lokasi usulan. Rincian jumlah lokasi yang diusulkan untuk disurvey lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Lokasi Pra Survey
No
|
Kabupaten
|
Jumlah Lokasi Pengamatan
|
1
|
Aceh Utara
|
25 Lokasi
|
2
|
Bireun
|
26 Lokasi
|
3
|
Lhokseumawe
|
3 Lokasi
|
4
|
Aceh Besar
|
19 Lokasi
|
5
|
Pidie
|
14 Lokasi
|
6
|
Pidie Jaya
|
9 Lokasi
|
7
|
Aceh Barat
|
9 Lokasi
|
8
|
Aceh Jaya
|
22 Lokasi
|
Total
|
117 Lokasi
|
Sebanyak 117 lokasi usulan prasurvey kemudian dibahas oleh para ahli, tim BBAP Ujung Batee dan Konsultan FAO. Pertimbangan teknis, kualitas lingkungan dan kondisi sosial terhadap lokasi-lokasi tersebut menghasilkan rekomendasi berupa 62 lokasi layak untuk dilakukan survey lebih lanjut. Lokasi sejumlah itu terdiri dari 38 lokasi berpotensi untuk budidaya air tawar dan 24 lokasi berpotensi untuk budidaya tiram. Rincian lokasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Lokasi Hasil Pemilihan Para Ahli
No
|
Kabupaten
|
Jumlah Lokasi Pengamatan Potensi Budidaya Air Tawar
|
Jumlah Lokasi Pengamatan Potensi Budidaya Tiram
|
1
|
Aceh Utara
|
3 Lokasi
|
3 Lokasi
|
2
|
Bireun
|
4 Lokasi
|
2 Lokasi
|
3
|
Lhokseumawe
|
-
|
1 Lokasi
|
4
|
Aceh Besar
|
4 Lokasi
|
12 Lokasi
|
5
|
Pidie
|
2 Lokasi*
|
4 Lokasi
|
6
|
Pidie Jaya
|
2 Lokasi
|
2 Lokasi
|
7
|
Aceh Barat
|
8 Lokasi
|
-
|
8
|
Aceh Jaya
|
15 Lokasi
|
-
|
Total
|
38 Lokasi
|
24 Lokasi
|
Catatan: * = Cadangan
2. Survey Lanjutan
Berdasarkan pertimbangan finansial, kemudahan pencapaian lokasi (aksesibilitas) dan ketersediaan air tawar yang teratur atau terus menerus maka disepakati untuk dilakukan survey lanjutan hanya pada 14 lokasi yakni 3 lokasi berpotensi untuk budidaya tiram dan 11 lokasi berpotensi untuk budidaya air tawar.
Tabel 5. Lokasi Survey Lanjutan
No
|
Kabupaten/Kota
|
Kecamatan
|
Desa
|
1
|
Aceh Utara
|
Baktiya
|
Matang Cut
|
Baktiya Barat
|
Sampoiniet
| ||
Lapang
|
Gelanggang Baro
| ||
2
|
Bireun
|
Ganda Pura
|
Mon Jambe
|
3
|
Pidie Jaya
|
Meura Dua
|
Buangan
|
4
|
Pidie
|
Batee
|
Pulo Bube
|
5
|
Aceh Besar
|
Jaya
|
Gampong Pasie
|
6
|
Banda Aceh
|
Syiah Kuala
|
Alue Naga
|
7
|
Aceh Barat
|
Meureubo
|
Pasi Pinang
|
Sama Tiga
|
Lhok Bubon
| ||
8
|
Aceh Jaya
|
Krueng Sabee
|
Kabong
|
Sampoinet
|
Blang Mon Long
| ||
Jaya
|
Krueng Kareung Ateuh
| ||
Jambo Masie
|
3. Detail Survey
Selama kegiatan dilakukan pengamatan dan penilaian kualitas air, tanah, dan infrastruktur yang mendukung budidaya perikanan air tawar dan tiram.
3.1. Pembobotan/Scoring Kesesuaian lahan
Penilaian kesesuaian lahan di lakukan melalui scoring/pembobotan untuk mengetahui tingkat potensial budidaya yang dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan teknis dari beberapa parameter kualitas air yang dijadikan referensi dalam pembobotan. Selain faktor kualitas air juga faktor pendukung infrastruktur tambak yang layak dijadikan sebagai lahan budidaya bagi komoditas yang direkomendasikan.
Metode pembobotan dilakukan hanya pada parameter kualitas air yang meliputi : Salinitas, Plankton, Pestisida, logam berat, pH tanah dan faktor pendukung (Infrastruktur tambak) sebab parameter ini yang secara teknis tidak dapat dikendalikan dengan mudah. Sedangkan untuk parameter lain dapat diabaikan karena sangat bersifat temporer dan mudah dikendalikan. Sementara berdasarkan hasil detail survey, komoditas yang direkomendasikan adalah udang galah, ikan nila, ikan mujair dan budidaya tiram (oyster).
Penentuan kriteria pembobotan/scoring dilakukan berdasarkan berdasarkan kepentingan untuk budidaya komoditas tersebut. Kriteria tersebut meliputi faktor kualitas air (salinitas, kelimpahan plankton. logam berat dan pestisida), faktor kualitas tanah ( tekstur tanah, pH tanah), sumber air tawar dan faktor pendukung (infrastruktur tambak). Nilai bobot berkisar 1 – 5; nilai 5 untuk parameter yang sangat penting, sementara nilai 1 untuk parameter yang kurang penting. Beberapa parameter yang bersifat temporer seperti kandungan oksigen, ammoniak, nitrit, phospat, tidak disertakan dalam perhitungan ini.
Penentuan skor untuk setiap parameter ditentukan berdasarkan kriteria kelayakan yang sudah ditetapkan pada standar lingkungan budidaya untuk setiap komoditas (Lampiran 2). Berdasarkan hasil perhitungan bobot (scoring) dapat diperoleh serangkaian nilai yang digunakan untuk menilai tingkat kelayakan suatu lokasi untuk keperluan budidaya suatu komoditas. Jumlah Nilai (skor) kelayakan lokasi untuk budidaya udang galah, ikan nila, ikan mujair, dan Tiram untuk setiap lokasi dapat di lihat pada tabel berikut ini :
Tabel 6. Nilai Kumulatif Scoring untuk Tiap Komoditas
No.
|
Lokasi
|
Udang Galah
|
Nila
|
Mujair
|
Tiram
| ||||
Skor
|
Rank
|
Skor
|
Rank
|
Skor
|
Rank
|
Skor
|
Rank
| ||
1
|
Matang Cut
|
396.9
|
IV
|
400.0
|
IV
|
400.0
|
IV
|
327.6
| |
2
|
Sampoiniet
|
343.8
|
335.5
|
360.0
|
348.3
| ||||
3
|
Gelanggang Baro
|
451.6
|
I
|
454.8
|
I
|
488.0
|
I
|
344.8
| |
4
|
Mon Jambe
|
328.1
|
293.5
|
324.0
|
386.2
|
III
| |||
5
|
Buangan
|
334.4
|
371.0
|
384.0
|
341.4
| ||||
6
|
Pulo Bube
|
228.1
|
241.9
|
244.0
|
392.1
|
I
| |||
7
|
Alue Naga
|
256.3
|
274.2
|
280.0
|
389.7
|
II
| |||
8
|
Pasi Pinang
|
271.9
|
345.2
|
332.0
|
320.7
| ||||
9
|
Lhok Bubon
|
306.3
|
348.4
|
356.0
|
337.9
| ||||
10
|
Kabong
|
387.5
|
374.2
|
404.0
|
344.8
| ||||
11
|
Blang Mon Long
|
384.4
|
354.8
|
356.0
|
337.9
| ||||
12
|
Kr. Kareung Ateuh
|
340.6
|
309.7
|
330.0
|
325.9
| ||||
13
|
Jambo Masie
|
414.1
|
II
|
422.6
|
II
|
416.0
|
II
|
344.8
| |
14
|
Gampong Pasie
|
407.8
|
III
|
403.2
|
III
|
408.0
|
III
|
355.2
|
Dari hasil tabulasi data di atas maka tim hanya akan membahas wilayah yang menjadi ranking dan direkomendasikan untuk budidaya air tawar dan tiram.
3.2. Potensi Budidaya Air Tawar
Berdasarkan pengolahan data dan citra dengan aplikasi GIS lahan dibagi menjadi 5 kategori yaitu:
1. Lahan sangat sesuai, dapat digunakan secara langsung untuk kegiatan budidaya.
2. Lahan sesuai, dapat secara langsung digunakan untuk kegiatan budidaya. Pada lahan ini, terdapat sangat sedikit (kurang dari 2) variabel bersifat temporer yang kurang layak untuk mendukung budidaya tapi dapat diabaikan.
3. Lahan cukup sesuai, merupakan lahan yang memerlukan beberapa perlakuan sebelum digunakan untuk kegiatan budidaya karena terdapat beberapa variabel bersifat temporer yang mempengaruhi kelayakan kualitas lahan.
4. Lahan kurang sesuai, merupakan lahan yang memerlukan banyak perlakuan sebelum digunakan karena terdapat banyak variabel bersifat temporer dan beberapa yang bersifat permanen yang mempengaruhi kelayakan kualitas lahan.
5. Lahan tidak sesuai, merupakan lahan yang sama sekali tidak dapat digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan atau jika digunakan membutuhkan biaya yang sangat tidak ekonomis.
Berdasarkan hasil survey dan scoring maka didapatkan 4 wilayah yang layak untuk budidaya air tawar yakni Desa Gelanggang Baroe Kecamatan Lapang Kabupaten Aceh Utara, Desa Gampong Pasie Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Besar, Desa Jambo Masie Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya dan Desa Matang Cut Kecamatan Baktiya Kabupaten Aceh Utara. Keempat lokasi tersebut memiliki ketersediaan air tawar sepanjang tahun karena dilalui aliran sungai besar serta saluran irigasi yang tertata secara teratur. Distribusi agro input maupun hasil produksi dapat dilakukan dengan baik karena didukung oleh prasarana jalan yang memadai.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani tambak dan cukup bergantung terhadap produktifitas tambak. Praktek pertambakan masih melaksanakan cara-cara tradisional. Benih udang dan ikan (udang galah, ikan mujair, bandeng) masuk lewat pintu air mengikuti air masuk tambak. Tidak dilakukan pengapuran dan pemupukan tambak. Selang 4-6 bulan udang dan ikan dipanen dengan jala atau panen total dengan mengeringkan air. Secara ekonomis tidak ada beban biaya besar dalam praktik pertambakan semacam ini, namun cara budidaya seperti ini memiliki produktifitas yang rendah. Umumnya hasil panen total ikan dan udang <500 kg/ha. Hasil panen dijual ke pengumpul lokal atau pasar terdekat.
Data pengamatan dan pengukuran memperlihatkan bahwa kondisi air dan tanah masih dalam standar budidaya air tawar. Tingkat pencemaran logam berat dan pestisida di keempat desa tersebut relatif rendah bahkan tidak terdeteksi sehingga mendukung produksi pangan yang aman dikonsumsi (Lampiran 1). Pada lokasi ini dapat dilakukan budidaya beberapa komoditas ikan air tawar seperti udang galah, ikan nila dan ikan mujair.
Sumber benih terdekat untuk budidaya ikan nila di Desa Gelanggang Baroe dan Matang Cut adalah BBI Batee Iliek dan BBI Jantho. BBI Batee Ilik sebagai pioner pembenihan Ikan Nila di Bireuen baru mampu mengusahakan 25.000 benih per bulan. Sedangkan BBI Jantho mampu memproduksi 100.000 benih nila per bulan. Produksi benih dilakukan dengan sistem tradisional yakni telur ditetaskan oleh induk betina. Sedangkan BBAP Ujung Batee dapat menyediakan benih untuk Desa Jambo Masie dan Gampong Pasie dengan potensi kapasitas produksi 200.000 benih nila per bulan. Produksi benih dilakukan dengan sistem intensif yakni melalui penetasan buatan dan pemeliharaan benih indoor.
BBAP Ujung Batee adalah satu-satunya penghasil benih udang galah di Provinsi Aceh dan dapat mengusahakan 50.000 benih udang galah per bulan. Produksi benih udang galah menggunakan sistem air cokelat yakni pemanfaatan skeletonema sebagai shading dan penjaga mutu air pemeliharaan.
Produksi benih di pembenih lokal dapat ditingkatkan dengan penambahan induk unggul dan perluasan area. Sedangkan produktifitas tambak tradisional dapat diperbaiki dengan peningkatan padat tebar, pengapuran, pemupukan dan pemberian pakan.
a. Desa Gelanggang Baroe
Desa Gelanggang Baroe berada di Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara. Hasil layout data pengukuran dan citra satelit memperlihatkan ada 113,74 ha lahan dapat digunakan untuk budidaya air tawar. Luas lahan yang masuk kategori sesuai untuk budidaya perikanan air tawar adalah seluas 0,2 ha. Sedangkan lahan yang dikategorikan cukup sesuai adalah seluas 113,72 ha.
Optimalisasi kelayakan lahan untuk budidaya perikanan dapat dilakukan dengan menjaga nilai salinitas 0-2 ppt, DO lebih dari 4 ppm, alkalinitas 100-150 ppm CaCO3. Salinitas optimum untuk budidaya dapat dicapai dengan memasukkan air hanya ketika air laut surut. DO distabilkan dengan menjaga kecerahan antara 25-35 cm yakni melakukan pengenceran/pergantian air ketika kecerahan kurang dari 25 cm dan menambahkan pupuk ketika kecerahan lebih dari 35 cm. Alkalinitas dapat ditingkatkan dengan pemberian kapur sebanyak 500 kg/ha dikarenakan alkalinitas hanya berkisar antara 76-120 ppm CaCO3.
b. Desa Matang Cut
Desa Matang Cut berada di Kecamatan Baktiya, Kabupaten Aceh Utara. Luas lahan yang masuk kategori sesuai untuk budidaya perikanan air tawar adalah seluas 5,17 ha. Sedangkan lahan yang dikategorikan cukup sesuai seluas 55 ha.
Optimalisasi kelayakan lahan dapat dilakukan dengan menjaga nilai salinitas 0-2 ppt, DO lebih dari 4 ppm, alkalinitas 100-150 ppm CaCO3. Salinitas dapat dijaga dengan memasukkan air hanya dari sungai ketika air laut surut. DO distabilkan dengan menjaga kecerahan antara 25-35 cm yakni melakukan pengenceran/pergantian air ketika kecerahan kurang dari 25 cm dan menambahkan pupuk ketika kecerahan lebih dari 35 cm. Alkalinitas dapat ditingkatkan dengan pemberian kapur sebanyak 500 kg/ha dikarenakan alkalinitas semula berkisar antara 76-120 ppm CaCO3.
c. Desa Jambo Masie
Berdasarkan hasil analisa data yang telah diperoleh dari survey lanjutan yang di lakukan oleh tim BBAP Ujung Batee, pada areal tambak desa Jambo Masie Kec. Jaya Kab. Aceh Jaya, dapat diambil kesimpulan bahwa areal tambak tersebut dapat direkomendasikan untuk budidaya beberapa spesies ikan air tawar seperti : ikan Nila, Mujair dan udang galah.
Rekomendasi tersebut berdasarkan pada hasil scoring yang dilakukan oleh tim survey kesesuaian lahan BBAP Ujung batee, dimana untuk ikan nila memiliki total skor 422.6, ikan mujair 416.0 dan udang galah 414.1. Total scoring tersebut merupakan penjumlahan dari beberapa parameter, antara lain salinitas, tektur tanah plankton, logam berat, pestisida, ketersediaan air tawar, pH tanah, infrastruktur tambak.
Data-data hasil survey tersebut kemudian di olah dengan menggunakan software Arc GIS 9.2® untuk mendapatkan gambaran kondisi lahan tambak dari desa Jambo Masie Kec. Jaya Kab. Aceh Jaya. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi tambak di desa tersebut terbagi kedalam dua katagori yaitu : kurang sesuai seluas 14.1 dan cukup sesuai 17.4 dari total 31.5 ha luasan lahan tambak yang telah di survey.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan produksi pada tambak yang termasuk dalam kedua katagori tersebut :
1. Kurang sesuai
Tambak – tambak yang termasuk dalam katagori kurang sesuai didasarkan pada hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air dan tanah, untuk lahan tambak yang termasuk kedalam katagori ini masih mungkin direkomensikan untuk dijadikan sebagai lahan budidaya, terutama ikan nila. Namun ada beberapa perlakuan khusus yang harus di lakukan untuk memperbaiki beberapa parameter kontemporer yang mempengaruhi budidaya, antara lain yaitu dengan memperbaiki saluran masuk dan buang air, melakukan penambahan kapur pertanian (CaCO3) agar pH tanah dapat di kendalikan, penambahan kapur disarankan sebanyak 500 kg – 1000 kg/ha. Pada lahan yang tergolong dalam katagori yang kurang sesuai juga di temukan DO yang rendah sehingga menjadi salah satu faktor pembatas yang harus di perhatikan karena sistem budidaya yang digunakan adalah sistem tradisional.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menunjang keberhasilan budidaya ikan nila pada lahan tersebut diatas, antara lain :
a. Ikan nila yang di budidayakan adalah ikan yang telah melalui proses adaptasi sesuai dengan kondisi salinitas air pada tambak tersebut yang berkisar antara 18-25 ppt.
b. Padat tebar ikan harus menjadi perhatian, mengingat metode budidaya yang digunakan adalah system tradisional. Padat tebar yang direkomendasikan adalah 1-2 ekor/m2.
c. Sebagai sumber pakan untuk budidaya ikan nila sistem tradisional sangat mengandalkan pada penumbuhan tumbuhan-tumbuhan air, seperti : phytoplankton dan zooplankton.
2. Cukup sesuai
Tambak yang termasuk kedalam katagori cukup sesuai didasarkan pada hasil survey terhadap parameter kualitas air dan tanah. Tambak-tambak pada katagori ini tidak memiliki kendali yang berarti dalam budidaya. Pada lahan ini di rekomendasikan untuk dilakukan budidaya ikan nila dan mujair dengan mengikuti semua petunjuk budidaya yang baik dan benar. Lokasi ini hanya perlu di lakukan pengapuran untuk dapat meningkatkan pH tanah, yaitu dengan menggunakan kapur pertanian (CaCO3) dengan dosis yang sama yaitu 500 kg – 1000 kg/ha. Sistem budidaya yang direkomendasikan pada lahan ini adalah sistem tradisional, dengan mempertimbangkan padat tebar yaitu 1-2 ekor/ m2, agar tidak terjadi persaingan oksigen yang berkibat pada kematian ikan.
Meskipun pada lahan dengan katagori cukup sesuai ketersediaan air tawar cukup baik, namun sebaiknya ikan nila dan mujair yang akan di budidayakan dalam lahan tersebut disarankan adalah ikan yang telah melalui proses adaptasi dengan air asin, yang disesuaikan dengan salinitas pada tambak pemeliharaan yaitu 12 – 18 ppt untuk ikan nila dan 0-35 ppt untuk mujair. Apabila kesulitan dalam memperoleh ikan yang telah di adaptasikan, maka harus dilakukan penurunan salinitas dalam tambak budidaya yaitu dengan melakukan penambahan air tawar, sehingga salinitas menjadi 0. Untuk memenuhi kecukupan pakan, tidak jauh berbeda dengan system atau cara yang di lakukan pada lahan nomor 1 di atas, yaitu dengan menumbuhkan pitoplankton dan zooplankton pada lahan budidaya tersebut dengan cara melakukan pemupukan dengan pupuk anorganik 100 – 200 kg/ha. Sebaiknya pada saat melakukan pemupukan kedalam air adalah 30 cm, sehingga pemanasan air akan mudah terjadi sepanjang hari dan plankton akan tumbuh dengan cepat.
Desa Jambo Masie sangat sesuai untuk budidaya air tawar terutama ikan nila dan mujair karena sangat di tunjang oleh kehidupan sosial masyarakatnya yang sebagian besar adalah nelayan dan petambak yang sudah berpengalaman dalam budidaya baik ikan maupun udang. Masyarakat Jambo Masie sangat terbuka dan mudah untuk di ajak berkerja sama.
d. Desa Gampong Pasie
Dari hasil analisa data yang telah diperoleh dari survey lanjutan pada areal tambak Desa Gampong Pasie Kec. Jaya Kab. Aceh Besar, dapat diambil kesimpulan bahwa areal tambak tersebut dapat direkomendasikan untuk budidaya beberapa spesies ikan air tawar seperti : ikan nila, mujair dan udang galah yang didapat dani hasil scoring dimana untuk ikan nila memiliki total skor 403.2, ikan mujair 408.0 dan udang galah 407.8. total scoring tersebut merupakan penjumlahan dari beberapa parameter, antara lain salinitas, tekstur tanah plankton, logam berat, pestisida, ketersediaan air tawar, pH tanah, infrastruktur tambak.
Dari interpretasi GIS data-data hasil survey dapat disimpulkan bahwa kondisi tambak di desa tersebut terbagi kedalam dua katagori yaitu : tidak sesuai seluas 4.32 ha dan kurang sesuai 7, 24 ha dari total 11.56 ha luasan lahan tambak yang telah di survey.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan produksi pada tambak yang termasuk dalam kedua katagori tersebut :
Desa Gampong Pasie Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Besar, berdasarkan pengamatan tim survey sangat cocok untuk budidaya ikan air tawar terutama ikan nila dan mujair, karena di lokasi banyak dijumpai petambak telah memulai budidaya ikan nila dan mujair. Keadan tersebut juga sangat di dukung oleh kehidupan sosial masyarakatnya yang sebagian besar adalah nelayan dan petambak. Masyarakat di desa tersebut juga mudah untuk diajak bekerja sama.
3.3.3. Potensi Budidaya Tiram
a. Desa Pulo Bubee
Salah satu desa penghasil tiram terbesar di Kabupaten Pidie adalah Desa Pulo Bubee yang terletak di Kecamatan Batee. Desa Pulo Bube berada pada jarak + 25 km dari kota Sigli dengan jarak tempuh perjalanan 20 – 30 menit, letak Desa Pulo Bubee berada disebelah barat kota Sigli. Hasil layout data pengukuran dan citra satelit memperlihatkan ada 17 ha lahan di desa ini namun yang cukup sesuai untuk budidaya tiram hanya seluas 16 ha sedangkan lahan dengan luasan 1 ha masuk dalam kategori wilayah yang kurang sesuai disebabkan wilayah tersebut berada disekitar pemukiman penduduk.
Aktivitas budidaya tiram di Desa Pulo Bubee yang dilakukan oleh kaum wanita/ibu – ibu telah berlangsung selama puluhan tahun. Budidaya tiram di daerah ini sempat mengalami kevakuman akibat dilanda tsunami. Satu tahun setelah tsunami berlalu kaum wanita/perempuan kembali beraktivitas dalam melakukan budidaya tiram dengan mengggunakan system kavling pada saluran dan sungai disekitar areal pertambakan. Setiap kaum ibu mempunyai 1 – 2 kavling tiram dengan ukuran luas yang bervariasi antara 4 x 2 meter dan 5 x 3 meter. Kapasitas produksi tiram perkavling juga sangat bervariasi antara 50 – 200 kg kotor (tanpa kupas), sehingga rata – rata produksi tiram setiap kaum wanita/ibu mencapai 15 – 60 kg daging tiram yang telah dikupas. Batas kavling menandakan status kepemilikan lokasi budidaya tiram, setiap batas kavling dibatasi dengan patok belahan bambu yang ditancap sejajar menyerupai pagar dan berbentuk kotak.
Tiram-tiram yang ada di dalam kavlingan tumbuh dan berkembang di dasar tanah saluran. Namun untuk perkembangan yang lebih cepat sebaiknya diberikan substrat sebagai tempat menempelnya benih tiram sehingga proses penyaringan makanan dapat lebih optimal dengan memanfaatkan pasang surut air.
Aktivitas kaum ibu dalam kegiatan budidaya tiram melalui penggemukan di Desa Pulo Bubee terdapat 65 orang yang mempunyai kavling/pagar tiram dan sekitar 30 orang yang aktif secara bebas mencari tiram. Pada saat pencarian, ibu-ibu biasanya juga membawa anak perempuannya bahkan yang dibawah umur sekalipun untuk membantu mencari tiram guna regenerasi.
Harga tiram kupas di Kabupaten Pidie bervariasi antara Rp. 5.000-10.000 perkantong. Sehingga pendapatan kaum wanita dalam setiap pemanenan berkisar antara Rp.45.000-Rp.150.000 dari hasil penangkapan tiram. Umumnya hasil panen tiram ini dijual kepada pengumpul untuk dijual ke Medan dengan harga Rp. 10.000/kg. Namun apabila tiram yang didapat berukuran sangat kecil para pencari tiram hanya akan menjualnya ke pasar lokal. Siklus penggemukan berlangsung hanya 15 – 20 hari. Pemanenan umumnya dilakukan pada saat air surut sehingga akan memudahkan para pencari tiram untuk mendapatkan tiram.
Spat tiram yang diperoleh pada berbagai sudut sungai kemudian dikumpulkan dalam pagar kavling yang terletak di sungai dengan cara ditebar diatas permukaan tanah yang berlumpur. Berdasarkan hasil observasi tiram dapat tumbuh dengan baik pada substrat tanah berlumpur dibanding pada tanah dasar berpasir, selain itu keragaman spat tiram yang tumbuh jenisnya sangat bervariasi dengan populasi yang cukup padat. Permukaan tanah yang banyak dilapisi pasir keragaman dan populasinya sangat sedikit.
b. Desa Alue Naga
Berdasarkan hasil analisa data yang telah diperoleh dari survey lanjutan yang di lakukan oleh tim BBAP Ujung Batee, pada areal sungai dan tambak Desa Alue Naga Kec. Syiah Kuala Kota Banda Aceh dimana dapat diambil kesimpulan bahwa areal sungai dan tambak tersebut dapat direkomendasikan untuk budidaya tiram. Rekomendasi tersebut berdasarkan pada hasil scoring yang dilakukan oleh tim survey kesesuaian lahan BBAP Ujung Batee, dimana untuk areal tersebut memperoloeh nilai scoring sebesar 389.7.
Data-data hasil survey tersebut kemudian di olah dengan menggunakan software Arc GIS 9.2® untuk mendapatkan gambaran kondisi lahan sungai dan tambak dari Desa Alue Naga Kec. Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi sungai dan tambak di desa tersebut terbagi kedalam dua katagori yaitu cukup sesuai (33 ha) dan sesuai (126 ha) dari total 159 ha luasan lahan sungai dan tambak yang telah di survey.
Di Desa Alue Naga terdapat sekitar 33 orang pekerja wanita yang terlibat dalam kegiatan budidaya tiram. Dimana teknologi budidaya yang mereka gunakan sangat mengandalkan benih dari alam. Tiram yang masih kurus dan kecil biasanya ditampung dan digemukkan dengan cara dibuat sekat – sekat dengan ukuran yang bervariasi tergantung banyaknya jumlah tiram yang akan digemukkan. Penggemukan tiram dilakukan pada bibir sungai atau dipinggir tambak. Setelah 15 – 30 hari kemudian kaum ibu –ibu kembali memanen tiram tersebut dengan harapan tiram yang di tampung telah mencapai bobot yang laku di pasaran.
Untuk pemasaran tiram, sampai dengan saat ini di Desa Alue Naga masih di pasarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Tiram di pasar lokal memiliki variasi harga berkisar antara Rp. 5.000 – Rp. 10.000 perkantong plastik gula ¼ kg. Dari berat 15 kg tiram tanpa kupas kulit dapat menghasilkan daging tiram sebanyak 7 kantong atau sekitar 4 – 6 kg, sehingga rata – rata, kaum ibu dalam setengah hari kerja memperoleh penghasilan sebesar Rp. 20.000 sampai Rp. 60.000/orang. Kelemahan penanganan tiram pasca panen masih belum maksimal, hal ini dapat dilihat dari kualitas daging dan pengemasan tiram yang di jual di pasar lokal banda aceh.
Dalam budidaya tiram ini bukan tanpa ada hambatan, seperti : para pembudidaya tiram di Desa Alue Naga masih sangat bergantung pada ketersediaan benih dari alam sehingga jumlah produksi dari tiram tersebut sangat bervariasi dan sulit untuk di prediksi. Hal ini merupakan tantangan bagi para stake holder untuk dapat memproduksi benih tiram secara massal sehingga ketergantungan terhadap benih dari alam dapat di kurangi. Perlu adanya pembentukan kelompok, sehingga dapat memudahkan akses informasi teknis dari lembaga pendukung dan atau penyedia informasi dan juga untuk memudahkan dalam pelaksanaan training sehingga dapat meningkat kemampuan (skill) para pembudidaya tiram.
c. Desa Mon Jambe
Desa Mon Jambe terletak di Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Keseluruhan luas wilayah potensial untuk budidaya tiram sebesar 70.47 ha yang terdiri dari lahan kategori sesuai seluas 4,5 ha dan lahan kategori cukup sesuai seluas 65,97 ha. Aktivitas budidaya tiram didaerah ini terdapat disepanjang Sungai Muara Dua yang pada umumnya dilakukan oleh para kaum ibu. Hampir setiap hari aktivitas pemanenan tiram dilakukan kaum ibu – ibu, tiram dikupas menggunakan pisau dan penggumpulan spat tiram diambil dari dasar sungai memakai serok. Untuk memudahkan pencarian, pengumpulan tiram dilakukan saat perairan Sungai Muara Dua surut. Jumlah pengumpul tiram di daerah ini sekitar 20 orang dengan hasil koleksi tiram sebanyak 3- 5 kg per hari.
Pencarian tiram untuk memenuhi kebutuhan makan rumah tangga sehari-hari dan sebagaian dijual untuk menopang ekonomi keluarganya. Tiram yang telah dikupas kemudian dibungkus dengan plastik gula dengan harga Rp. 5.000 – 10.000/kantong. Rata – rata penghasilan para ibu pencari tiram berkisar antara Rp. 20.000 - 30.000/orang dengan jumlah sebanyak 3-5 kg daging tiram kupas. Aktivitas dilakukan setiap hari sehingga kekhawatiran ketersediaan tiram semakin langka dan akan memutus mata pencaharian. Upaya yang bisa dilakukan untuk mempertahankan populasi tiram adalah mengarahkan kaum ibu melakukan kegiatan budidaya dengan sumber benih yang didatangkan dari luar Desa Mon Jambe seperti daerah Krueng Cut Aceh Besar. Ketersediaan spat tiram di sekitar Krueng Cut dapat dijadikan sebagai sumber benih yang potensial untuk di distribusikan ke setiap daerah yang kekurangan spat tiram akibat dari pemanenan tiram yang tidak terkendali.