@Ibnu Sahidhir
Akuakultur dalam prakteknya lebih condong disebut seni daripada sains. Pengerjaannya penuh dengan artikulasi, nadanya harus tepat, kesuksesannya tidak selalu pasti namun sering dalam sebuah rentang hasil. Namun disinilah letak menariknya.
Akuakultur dalam prakteknya lebih condong disebut seni daripada sains. Pengerjaannya penuh dengan artikulasi, nadanya harus tepat, kesuksesannya tidak selalu pasti namun sering dalam sebuah rentang hasil. Namun disinilah letak menariknya.
Kita akan mengetengahkan sebuah fenomena unik dalam lapang pandang ini. Banyak praktisi akuakultur sukses tidak mengenyam bangku akuakultur. Apa sebab demikian dan mengapa persentase sukses mereka yang memiliki latar belakang pendidikan akuakultur malah lebih rendah ?
Renungan Saya telah mulai memberikan hasil. Kegiatan mental orang sukses dibanding yang kurang sukses terletak pada penggunaan eksperimen imajiner. Eksperimen imajiner adalah penggunaan fantasi untuk mengujicoba suatu permasalahan dan menemukan solusinya dalam alam khayal pula. Walaupun demikian hasilnya seringkali berimplikasi nyata. Setelah solusi tercapai baru dicari urutan logisnya.
Siapa yang pernah menggunakannya? Semua orang dan semua kebudayaan yang tidak memiliki cukup alat untuk melihat dan mendeteksi mekanisme kerja alam. Orang Mesir tergerak membuat pyramid karena imajinasi keabadian manusia. Orang yunani meneliti atom hanya dengan imajinasinya. Para arif India meneliti cahaya dengan logika common sense saja. Mendell mencoba mengira mekanisme penurunan sifat genetis dengan logikanya yang terbatas. Isaac Newton ternyata tidak ilmiah-ilmiah amat, Ia juga penganut alchemist yang dipenuhi rasa misterius. Bahkan Einstein dan kawan-kawannya berdebat dengan eksperimen imajiner.
Para praktisi akuakultur tidak banyak yang mampu meneruskan pendidikan sampai jenjang S3, namun sering kali hasil peliharaan mereka malah lebih baik. Bedanya karena para praktisi ini memiliki gambaran mental yang jernih tentang apa yang mereka hadapi sedangkan para akademisi sering berpikir terpisah dari objek dan bergelut dengan konsep dan teorinya yang abstrak.
Menghasilkan sains memang sulit. Sebelumnya kita harus belajar banyak teori dan pencapaian ilmuwan sebelum kita sehingga istilah rujukan, referensi, bibliografi, daftar pustaka pasti bejibun.Namun akuakultur tidak selamanya demikian. Mereka yang kurang tajam dari menyimpulkan bacaan, kadang harus menerima kenyataan bahwa pengetahuan mereka bukan mencerahkan tapi malah mengeruhkan pikiran. Hasil penelitian yang terlalu menekankan detail jarang merangsang sisi imajinatif praktisi.
Walaupun seorang ilmuwan, pengalaman Dr. Fujinaga dapat dijadikan suri tauladan sebagai pengguna metode ilmiah, coba-coba dan eksperimen imajiner sekaligus. Beliau mulai mengalami kebingungan setelah kegagalan berkali-kali dalam memelihara larva udang. Beliau sudah memahami bahwa pencapaian pengetahuan tentang cara kawin udang sama sekali belum memunculkan nilai praktis dan ini akhirnya terjadi pula pada pemeliharaan larva.
Dalam benak Fujinaga bermunculan ide sederhana bahwa yang dimakan pasti lebih kecil dari mulut yang memakan. Proposisi ini membuat konsekuensi logis untuk penyediaan pakan berpartikel lembut . Seukuran debu lah ! Maka beliau melirik tepung terigu, tepung beras, tepung jagung dan tepung ikan. Secara singkat tepung ikanlah yang memiliki nutrisi lebih baik. Namun hasilnya kurang memuaskan juga. Peralihan trial and error ditujukan pada kuning telur yang hasilnya ternyata lebih baik. Walaupun demikian, kualitas air tetap menurun secara nyata.
Common sensenya beralih pada makhluk hidup berukuran debu: mikroorganisme. Alternatifnya bisa bakteri, protozoa, fungi, dan fitoplankton. Namun pengalaman menunjukkan bahwa ketiga yang pertama akan tetap tumbuh walau tidak dikultur. Jadi pilihan ada pada yang paling akhir. Ternyata fitoplankton juga begitu banyak ragamnya, jadi akan memakai yang mana ? Berdasarkan logika homeostasis maka dipilihlah diatom, jenis fitoplankton pemilik silikat yang dibutuhkan untuk pembentukan chitin udang. Dan syukurnya diatom juga memiliki lebih banyak lemak sebagai energy utama perkembangan larva.
Ukuran larva yang semakin besar membutuhkan pakan yang lebih besar lagi. Pilihan beralih ke larva avertebrata air seperti hewan lunak dan berbuku-buku serta mikroorganisme berukuran lebih besar dari protozoa. Larva invertebrate yang dipakai contohnya adalah trochophore kerang, artemia dan copepod. Untuk yang terakhir dapat diambil contoh rotifer sebagai salah satu mikroorganisme yang prospektif.
Selalu ada kekurangan dalam setiap penerapan teknologi. Penggunaan pakan tepung buatan merusak air tapi penggunaan pakan hidup tidak, karena banyak yang tetap hidup walau tak dimakan. Namun demikian hidup lebih lama tanpa asupan pakan juga menurunkan gizi pakan hidup. Sehingga penggunaan pakan hidup yang terus menerus tersebut membuat kebutuhan kultur pakan hidup terpisah menjadi mendesak. Maka berlomba-lombalah orang untuk meneliti kultur pakan hidup. Dari sini muncul istilah pengkayaan pakan hidup, karena ia bisa diberi makan dengan nilai gizi apa saja asal sesuai ukuran mulut.
Dengan keterbatasan data pada tahun tersebut (1930) pada awalnya pemilihan berbagai macam jenis pakan diatas dilakukan berdasarkan perkiraan dan coba-coba oleh Fujinaga. Setelah riset pendahuluan berjalan beberapa kali, riset lebih detail mulai dilakukan.
Secara historis kesuksesan akuakultur di lapangan sangat bergantung pada imajinasi para penggeraknya dan ketepatan prediksinya dengan data-data yang sering tidak lengkap.